Kenangan saya bersama Tabloid BOLA nyaris sama dengan Tabloid SOCCER, yang dulu pernah saya tulis di blog yang lama dan kini telah hilang. Sebelum internet segampang sekarang, asupan nutrisi sepakbola saya tercukupi oleh koran, utamanya Tabloid BOLA dan SOCCER. Memang ada televisi, tapi dua koran itu jauh lebih kaya gizi.
Waktu masih tinggal di kampung, akses untuk mendapatkan BOLA
sangatlah sulit. Setahu saya, waktu itu tak ada yang jual BOLA. Entahlah,
mungkin main saya kurang jauh. Salah satu cara saya mendapatkan Bola adalah
kalau kebetulan saya diajak ke kota. Saya masih ingat, sering saya beli di
depan Rumah Sakit Kebon Jati. Yang saya lupa, kenapa harus di rumah sakit ya. Sadar
frekuensi saya ke kota tidaklah sering, biasanya saya tidak cuma beli satu
koran. Kalau kebetulan Si Emangnya masih nyimpen edisi terdahulu, biasanya
sekalian saya beli.
Sampai rumah dengan beberapa edisi BOLA dan SOCCER di
tangan, sepertinya menjadi salah satu momen paling bahagia waktu itu. Halaman
demi halaman saya buka dan baca. Tak rela rasanya jika sampai ada tulisan yang
terlewat. Terasa lebay, tapi begitulah waktu itu.
Singkat cerita, saya di kota. Untuk sekolah, bukan buat beli
koran. Terkait dengan kebiasaan saya baca Tabloid BOLA, ada sisi postif dan
negatif saya sekolah di kota. Positifnya, akses mendapatkan BOLA amat sangat
mudah. Di gedung sekolah yang lama, ada satu penjual koran yang kiosnya cukup
besar dan lengkap. Biasanya saya beli disitu, walau harus berjalan agak jauh.
Tapi ya mending daripada waktu di kampung dulu. Saat di gedung sekolah yang
baru (kebetulan sekolah saya pindah lokasi), aksesnya lebih dimudahkan lagi.
Jarak dari sekolah ke penjual koran semakin dekat. Tak hanya itu, dari segi
jumlah, juga lebih banyak. Ini bermanfaat jika di lokasi A saya kehabisan, ada
alternatif lokasi B.
Negatifnya, saat akses sebegitu mudahnya, masa-masa sekolah
ini keuangan yang jadi masalah. Dengan jumlah uang bulanan yang terbatas, saya
dihadapkan pada pilihan sulit. BOLA, SOCCER, atau makan. Diantara tiga pilihan
itu, saya hanya bisa memilih dua. Pilihan pertama, jelas makan. Karena
senikmat-nikmatnya baca koran, lebih nikmat nasi padang.
Pilihan berikutnya, saya memilih SOCCER. Karena dua hal. Pertama, analisa sotoy saya, karena saya merasa SOCCER lebih anak muda banget, dibanding BOLA yang saya rasa lebih ke pembaca bapak-bapak. Kedua, bonus poster.
Pilihan berikutnya, saya memilih SOCCER. Karena dua hal. Pertama, analisa sotoy saya, karena saya merasa SOCCER lebih anak muda banget, dibanding BOLA yang saya rasa lebih ke pembaca bapak-bapak. Kedua, bonus poster.
2014, SOCCER tumbang. Sayangnya, tumbangnya SOCCER itu
disaat internet begitu mudahnya diakses (ini juga mungkin yang jadi penyebab
tutupnya SOCCER), jadi tak serta merta saya beralih ke BOLA. Walaupun begitu,
sekali-sekali saya beli BOLA. Terlebih saat ada momen khusus, seperti saat
Persib juara Liga Indonesia, juara Piala Presiden. Juga saat Harian Bola edisi terakhir.
Tahun ini, BOLA memutuskan untuk tak lagi beroperasi. Terus terang, walau bukan pembaca setia, dan terakhir membeli BOLA entah kapan, mengetahui kabar ini, sungguh menyedihkan. Tapi mau bagaimana lagi, BOLA seperti ini mungkin karena saya dan banyak pembaca lain sudah menemukan media informasi baru yang lebih mudah dan murah untuk diakses.
Terima kasih Tabloid BOLA. Telah membawa kami ke arena.
Tahun ini, BOLA memutuskan untuk tak lagi beroperasi. Terus terang, walau bukan pembaca setia, dan terakhir membeli BOLA entah kapan, mengetahui kabar ini, sungguh menyedihkan. Tapi mau bagaimana lagi, BOLA seperti ini mungkin karena saya dan banyak pembaca lain sudah menemukan media informasi baru yang lebih mudah dan murah untuk diakses.
Terima kasih Tabloid BOLA. Telah membawa kami ke arena.
Wuah, aku tau Bola. Dulu Ibuku jualan koran. Sempat ngintip2, tapi gak tertarik.
ReplyDeleteNggak kaget sih kalo banyak koran yg ditarik dari peredaran. Mereka harus mengubah diri, mengikuti perkembangan zaman, supaya gak tergerus teknologi
Pada akhirnya, Bola selalu mendapatkan tempat di hati pembaca setianya